Berikut
ini kami tuliskan sebuah kisah dari Nabi Musa dan Nabi Khaidir Alaihissalam.
Kisah ini dituliskan pada surah Al-Kahfi, surah yang disunnahkan oleh
Rasulullah pada malam jum'at dan hari jum'at.
Dari
Ubay bin Ka’ab, Rasulullah bersabda, “Pada suatu ketika Musa berbicara di
hadapan Bani Israil, kemudian ada seseorang yang bertanya, ‘Siapakah orang yang
paling pandai itu?’ Musa menjawab, ‘Aku.’
Dengan
ucapan itu, Allah mencelanya, sebab Musa tidak mengembalikan pengetahuan suatu
ilmu kepada Allah. Kemudian Allah mewahyukan kepada Musa, ‘Sesungguhnya Aku
memiliki seorang hamba yang berada di pertemuan antara laut Persia dan Romawi,
hamba-Ku itu lebih pandai daripada kamu!’
Musa
bertanya, ‘Ya Rabbi, bagaimana caranya agar aku bisa bertemu dengannya?’ Maka
dijawab, “Bawalah seekor ikan yang kamu masukkan ke dalam suatu tempat, di mana
ikan itu menghilang maka di situlah hamba-Ku itu berada!’
Kemudian
Musa pun pergi. Musa pergi bersama seorang pelayan bernama Yusya’ bin Nun. Keduanya
membawa ikan tersebut di dalam suatu tempat hingga keduanya tiba di sebuah batu
besar. Mereka membaringkan tubuhnya sejenak lalu tertidur. Tiba-tiba ikan
tersebut menghilang dari tempat tersebut. Ikan itu melompat mengambil jalannya
ke laut. Musa dan pelayannya merasa aneh sekali.
Lalu
keduanya terus menyusuri dari siang hingga malam hari. Pada pagi harinya, Musa
berkata kepada pelayannya,
آتِنَا
غَدَاءنَا لَقَدْ لَقِينَا مِن سَفَرِنَا هَذَا نَصَباً
“Bawalah
ke mari makanan kita. Sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan
kita ini.” (QS. Al-Kahfi: 62)
Musa
berkata,
ذَلِكَ
مَا كُنَّا نَبْغِ فَارْتَدَّا عَلَى آثَارِهِمَا قَصَصاً
“Itulah
tempat yang kita cari,’ lalu keduanya kembali mengikuti jejak mereka semula.”
(QS. Al-Kahfi: 64)
Setibanya
mereka di batu tersebut, mereka mendapati seorang lelaki yang tertutup kain,
lalu Musa memberi salam kepadanya
Khidir
(orang itu) bertanya, ‘Berasal dari manakah salam yang engkau ucapkan tadi?’
Musa menjawab, ‘Aku adalah Musa.’ Khidir bertanya, ‘Musa yang dari Bani
Israil?’ Musa menjawab, ‘Benar!’
هَلْ
أَتَّبِعُكَ عَلَى أَن تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْد. قَالَ إِنَّكَ لَن
تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْراً
“Bolehkah
aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara
ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?’ Dia menjawab, ‘Sesungguhnya kamu
sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku.”
(QS. Al-Kahfi: 66–67)
Khidir
berkata, ‘Wahai Musa, aku ini mengetahui suatu ilmu dari Allah yang hanya Dia
ajarkan kepadaku saja. Kamu tidak mengetahuinya. Sedangkan engkau juga
mempunyai ilmu yang hanya diajarkan Allah kepadamu saja, yang aku tidak
mengetahuinya.’
Musa
berkata,
سَتَجِدُنِي
إِن شَاء اللَّهُ صَابِراً وَلَا أَعْصِي لَكَ أَمْراً
“Insya
Allah, kamu akan mendapati aku sebagai seorang yang sabar dan aku tidak akan
menentangmu dalam suatu urusan pun.” (QS. Al-Kahfi: 69)
Kemudian,
keduanya berjalan di tepi laut. Tiba-tiba lewat sebuah perahu. Mereka
berbincang-bincang dengan para penumpang kapal tersebut agar berkenan membawa
serta mereka. Akhirnya, mereka mengenali Khidhir, lalu penumpang kapal itu
membawa keduanya tanpa diminta upah.
Tiba-tiba,
seekor burung hinggap di tepi perahu itu, ia mematuk (meminum) seteguk atau dua
kali teguk air laut. Kemudian, Khidhir memberitahu Musa, ‘Wahai Musa, ilmuku
dan ilmumu tidak sebanding dengan ilmu Allah, kecuali seperti paruh burung yang
meminum air laut tadi!’
Khidhir
lalu menuju salah satu papan perahu, kemudian Khidhir melubanginya. Melihat
kejanggalan ini Musa bertanya, ‘Penumpang kapal ini telah bersedia membawa
serta kita tanpa memungut upah, tetapi mengapa engkau sengaja melubangi kapal
mereka? Apakah engkau lakukan itu dengan maksud menenggelamkan penumpangnya?’
Khidhir
menjawab,
قَالَ
أَلَمْ أَقُلْ إِنَّكَ لَن تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْراً. قَالَ لَا تُؤَاخِذْنِي
بِمَا نَسِيتُ وَلَا تُرْهِقْنِي مِنْ أَمْرِي عُسْراً
“Bukankah
aku telah berkata, ‘Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersamaku.’
Musa berkata, ‘Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku.”
(QS. Al-Kahfi: 72–73)
Itulah
sesuatu yang pertama kali dilupakan Musa, kemudian keduanya melanjutkan
perjalanan. Keduanya bertemu dengan seorang anak laki-laki sedang bermain
bersama kawan-kawannya. Tiba-tiba Khidhir menarik rambut anak itu dan
membunuhnya.
Melihat
kejadian aneh ini, Musa bertanya,
أَقَتَلْتَ
نَفْساً زَكِيَّةً بِغَيْرِ نَفْسٍ لَّقَدْ جِئْتَ شَيْئاً نُّكْراً
“Mengapa
kamu membunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain?
Sesungguhnya kamu telah melakukan sesuatu yang mungkar.”
(QS. Al-Kahfi: 74)
Khidhir
menjawab,
أَلَمْ
أَقُل لَّكَ إِنَّكَ لَن تَسْتَطِيعَ مَعِي صَبْراً
“Bukankah
sudah aku katakan kepadamu bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar
bersamaku?” (QS. Al-Kahfi: 75)
Maka,
keduanya berjalan. Hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri,
mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu
tidak mau menjamu mereka. Kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu
dinding rumah yang hampir roboh.
فَأَقَامَهُ
قَالَ لَوْ شِئْتَ لَاتَّخَذْتَ عَلَيْهِ أَجْر. قَالَ هَذَا فِرَاقُ بَيْنِي
وَبَيْنِكَ سَأُنَبِّئُكَ بِتَأْوِيلِ مَا لَمْ تَسْتَطِع عَّلَيْهِ صَبْراً
“Khidhir
berkata bahwa, melalui tangannya, dia menegakkan dinding itu. Musa berkata,
‘Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu.’ Khidhir berkata,
‘Inilah perpisahan antara aku dengan kamu.” (QS. Al-Kahfi:
77–78).
Semoga
Allah menganugerahkan rahmat kepada Musa ‘alaihis salam. Tentu, kita sangat
menginginkan sekiranya Musa dapat bersabar sehingga kita memperoleh cerita
tentang urusan keduanya.” (HR. Al-Bukhari no. 122 dan Muslim no. 2380)
Pelajaran
yang dapat dipetik:
1. Orang
yang pandai dan terhormat boleh meminta orang lain untuk membantu memenuhi
kebutuhannya.
2. Anjuran
untuk tawadhu’ dan tidak sombong karena kepandaiannya, dan jika ditanyakan
kepadanya, “Siapa orang yang paling pandai?” Hendaknya menjawab, “Allahu a’lam
(Allah yang lebih mengetahui).”
3. Kewajiban
melaksanakan ajaran yang telah disyariatkan sekalipun akal tidak mampu
mencernanya.
4. Anjuran
safar dalam thalabul ilmi (menuntut ilmu agama, ed).
5. Anjuran
untuk bersopan santun dengan para ulama dan orang yang lebih tua.
6. Ketetapan
adalah karamah para wali.
7. Diperbolehkan
meminta makanan jika memang membutuhkan.
8. Diperbolehkan
menempuh perjalanan dengan berlayar, dan diperbolehkan meminjam kendaraan,
menempati rumah, atau memakai pakaian kawannya tanpa memberi imbalan, jika
pemiliknya ridha.
9. Menghukumi
sesuatu berdasarkan apa yang tampak.
10. Jika
harus menghadapi dua bahaya, maka bahaya yang lebih besar harus dihindari
dengan cara melakukan bahaya yang lebih ringan.
11. Disyariatkan
memberi bimbingan dengan khutbah dan melakukan tanya-jawab.
12. Para
nabi bisa lupa, kecapekan, lapar, dan tidur.
13. Lemah
lembut kepada pengikut dan pembantu.
14. Manusia
tidak sepi dari was-was setan.
15. Disunnahkan
bahwa orang yang menyeru seseorang kepada kebaikan atau mengingatkannya,
hendaknya ia memulai dengan dirinya sendiri, dan tidak terlarang pula jika
sebaliknya. Keduanya disinyalir dalam sunnah.
16. Hadits
ahad diterima dalam masalah-masalah akidah.
Wallahu
A’lam.
Sumber:
61 Kisah Pengantar Tidur, Muhammad bin Hamid Abdul Wahab, Darul Haq, Cetakan
VI, 2009.
0 komentar:
Posting Komentar