Tampilkan postingan dengan label Sunnah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sunnah. Tampilkan semua postingan

Selasa, 19 Maret 2013

KEUTAMAAN HAMDALAH

Dari Jabir ra. bahwa Rasulullah SAW. bersabda : “Allah SWT tidak memberi suatu nikmat kepada seorang hamba, kemudian ia mengucapkan Alhamdulillah, kecuali Allah SWT menilai ia telah mensyukuri nikmat itu. Apabila dia mengucapkan Alhamdulillah yang kedua, maka Allah SWT akan memberinya pahala yang baru lagi. Apabila dia mengucapkan Alhamdulillah untuk yang ketiga kalinya, maka Allah SWT mengampuni dosa²nya!” (HR. Hakim dan Baihaqi).
Dari Ibnu Umar ra., Rasulullah SAW bersabda : “Perbanyaklah kalian membaca Alhamdulillah, karena sesungguhnya bacaan Alhamdulillah itu mempunyai mata dan sayap yang selalu mendoakan didalam surga dan memohonkan ampunan bagi yang membacanya sampai hari kiamat...!!!” (HR. Dailami).
Dari Anas ra., Rasulullah SAW bersabda : “Andai kata seisi dunia ini dikuasai oleh seorang laki² dari umbult, jenuham dia mengucapkan Alhamdulillah, maka ucapan Alhamdulillah lebih utama dari pada dunia dan seluruh isinya itu!”.
Didalam Hadits Lain : “Barang siapa mengucapkan Subhanallah, maka baginya sepuluh kebaikan, barang siapa mengucapkan La Ilaha Illallah, maka baginya ditulis duapuluh kebaikan, dan barang siapa mengucapkan Alhamdulillah, maka baginya dituliskan tiga puluh kebaikan!” (HR. Ibnu Asakir).
Dan dari Abu Umamah Radhiyallahu 'Anhu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda : “Allah SWT tidak memberikan nikmat kepada seorang hamba, kemudian ia memuji Allah SWT atas nikmat-Nya, kecuali pujiannya itu lebih utama dari nikmat itu, meskipun kenikmatan itu besar!” (HR. Tabrani).
Wallahu A'lam.

KEUTAMAAN MENJENGUK ORANG SAKIT

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Tidaklah seorang muslim yang menjenguk muslim yang sedang sakit di pagi hari, kecuali ada 70 ribu malaikat yang mendoakannya hingga sore hari. Dan jika ia menjenguknya di sore hari, ada 70 ribu malaikat yang mendoakannya hingga pagi hari, dan baginya sebuah taman di surga.” (HR. Tirmidzi, Shahih).
“Siapa yang menjenguk orang sakit, maka ada seorang yang berseru dari langit: “Kamu adalah orang baik, dan langkahmu juga baik dan engkau berhak menempati satu tempat di surga.” (HR. Ibnu Majah, At-Tirmidzi, dan ahmad, Shahih).
Semoga kita bisa mengambil pelajaran dan mengamalkannya. Aamin.
Wallahu A'lam.

Minggu, 23 September 2012

SEJARAH ISLAM MENGAJARKAN DEMOKRASI

Masih Ingatkah kita tentang pengangkatan Sahabat Umar Bin Khattab r.a sebagai khalifah yang kedua dalam sejarah Islam? Sesungguhnya hal itu adalah sejarah yang mempunyai nilai Muammalah yang sanggat tinggi tuk menjunjung tinggi rasa Khubbul Wattan.
Pada saat itu Sahabat Umar Bin Khattab r.a diangkat sebai khalifah dengan cara dipilih langsung oleh umat. Berbeda dengan sahabat Abu Bakar as-Siddiq yang dipilih langsung oleh Rasulullah sebagai penggantinya untuk memimpin umat.
Sahabat Umar Bin Khattab r.a dipilih dengan cara demokratis, yakni melalui umat langsung. Hal ini mengajarkan kita betapa pentingnya demokrasi tuk membangun sebuah kepemimpinan didalam negeri.
Maka dari itu demokrasi adalah suatu hal yang penting tuk membangun negeri ini, dan alangkah bagusnya jika dalam negeri ini bisa diterapkan dengan baik dan dengan catatan orang-orang yang kita pilih adalah mereka yang dekat dengan Allah SWT dan mengagungkan nilai-nilai dan syari’at dengan baik.

Sabtu, 01 September 2012

MAKNA DAN HALAL BI HALAL DAN SILATURRAHIM DALAM MENUNAIKAN KHABLUM MINANNAS

Halal Bi Halal adalah suatu bentuk ungkapan khusus pada waktu dan tempat tertentu sebagai pengganti dari kata Silaturrahim pada kedua hari raya Islam yang telah membudaya di beberapa Negara di Asia Tenggara khusnya Indonesia, yang khususnya di bulan Syawal. Jika kita kembali pada sejarah Islam, sejak zaman Rasulullah SAW, sahabat, para tabi’ dan tabi’ tabi’in bahkan hingga saat ini, maka kita tidak akan mendapatkan istilah Halal Bi Halal kecuali Silaturrahim. Meskipun Istilah Halal Bi Halal ini berasal dari bahasa Arab yang berarti “Halal dengan yang halal” atau “sama-sama saling menghalalkan” atau kadang pula diartikan dengan “saling maaf memaafkan/ saling menghalalkan dosa masing-masing” namun terdapat kerancuan pemahaman di kalangan orang Arab itu sendiri (ashab al-lughah) terhadap penggunaan dan maksud dari istilah ini.
Tidaklah mengherankan misalkan ada orang Arab yang akan heran saat mereka bertanya tentang isi dari acara Halal Bi Halal yang sedang dirayakan oleh masyarakat Indonesia yang berada di Arab. Mereka pun akan memahaminya setelah mendapatkan penjelasan tentang sebab dan maksud dari perayaan itu dan kadang mendapat sorotan tentang kesalahan penempatan bahasa yang dimaklumi sebagai bahasa atau ungkapan orang yang baru belajar bahasa Arab namun kadang pula mendapat pujian tentang dalamnya hikmah yang terkandung dari ungkapan tersebut.
Uslub (gaya bahasa) dari Halal Bi Halal sangat terpengaruh dengan uslub yang terdapat dalam firman Allah SWT, Surah Al-Maidah: 45 :
وَ كَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيْهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالأَنْفَ بِالأَنْفِ وَالأُذُنَ بِالأُذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ
“Dan kami Telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata (dibalas) dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada qisashnya…”.
Uslub pada ayat ini mengandung makna qishaash (hukum balasan) terhadap orang yang telah dirugikan, dibalas dengan balasan yang sama atau setimpal. Dalam firman-Nya yang lain :
يَاأَيُّهَا الذِيْنَ ءَامَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلىَ اَلْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالأُنْثَى بِالأُنْثَى فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيْهِ شَيْئٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوْفِ وَأَدَآءٌ اِلَيْهِ بِإِحْسانٍ….
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema’afan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma’af) membayar (diat) kepada yang memberi ma’af dengan cara yang baik (pula). (QS.Al-Baqarah: 178).
Qishaash ialah mengambil pembalasan yang sama. qishaash itu tidak dilakukan, bila yang membunuh mendapat kema’afan dari ahli waris yang terbunuh yaitu dengan membayar diat (ganti rugi) yang wajar. pembayaran diat diminta dengan baik, umpamanya dengan tidak mendesak yang membunuh, dan yang membunuh hendaklah membayarnya dengan baik, umpamanya tidak menangguh-nangguhkannya. bila ahli waris si korban sesudah Tuhan menjelaskan hukum-hukum ini, membunuh yang bukan si pembunuh, atau membunuh si pembunuh setelah menerima diat, Maka terhadapnya di dunia diambil qishaash dan di akhirat dia mendapat siksa yang pedih.
Pada ayat ini, telah mengisyaratkan akan adanya sifat pemaaf, yang kemudian pada ayat 237 surah Al-Baqarah disebutkan bahwa :
وَ أَنْ تَعْفُوْا أَقـْرَبُ لِلتـَّقـْوَى
“..Dan jika kamu memaafkan, maka hal itu lebih dekat kepada takwa…”
Memaafkan orang lain sebagaimana yang telah dipraktekkan oleh baginda Rasulullah SAW di awal dakwahnya, bahkan beliau mendoakan mereka yang ingkar dan telah melukainya di saat Jibril as meminta kepadanya untuk memohon balasan atau azab Allah bagi mereka, merupakan suatu kesabaran dan keteguhan hati dalam meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT. Hal senada pun akan dijumpai dalam berpuasa pada bulan Ramadhan, dimana dengan berpuasa akan melatih kesabaran dan membentuk keperibadian dalam meraih tujuan utama dari puasa yaitu:
لـَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْن
“…Agar kamu bertakwa” (QS.Al-Baqarah:183)
Sehingga para ulama yang menyebarkan islam di Indonesia, di saat menjawab pertanyaan-pertanyaan orang awam tentang perbedaan Silaturrahim pada hari-hari biasa dan pada hari Ied, mereka lebih menyederhanakan perbedaan tersebut dengan Istilah baru yaitu Halal Bi Halal, yang dapat berarti bahwa bersilaturrahim di hari biasa boleh jadi Haram bi Halal atau orang yang menjalin hubungan telah berbuat salah dan dalam keadaan biasa-biasa saja terlebih lagi di Indonesia, ungkapan silaturrahim lebih diterjemahkan dengan sekedar berziarah. Sedangkan bersilaturrahim setelah Ied merupakan refleksi dari pembentukkan keperibadian di saat berpuasa sehingga orang yang menjalin dan dijalin silaturrahim dalam keadaan suci, sadar dan ikhlas untuk memaafkan dan dimaafkan serta memperbaiki hubungan yang telah kusut.
Makna dari Halal Bi Halal ini akan lebih bermakna jika puasa yang dilakukan benar-benar sempurna dan mampu meraih tujuan utama dari puasa itu sendiri yaitu meningkatkan kualitas ketakwaan kepada Allah SWT. Karena Rasulullah SAW bersabda :
رُبَّ صَائِمٍ لـَيْسَ لَهُ مِن صِيَامِهِ إِلاَّ الـْجُوْع
“Banyak sekali orang yang berpuasa namun tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali rasa lapar” (HR.Nasai, Ibnu Majah dan Al-Hakim).
Hal ini disebabkan karena kurangnya pengetahuan dan kesadaran akan niat dan tujuan dalam berpuasa.
Jika kita ingin melakukan perjalanan ke suatu tempat, mislanya dari Ambon menuju Jakarta, maka niat kita bukan sekedar berangkat ke Jakarta dan tujuan kita bukan semata-mata karena ingin sampai atau tiba di bandara maupun pelabuhan yang ada di Jakarta, melainkan masih banyak tujuan-tujuan utama lainnya yaitu ingin mengagumi kemegahan kota metropolitan, bersilaturrahim dengan sanak saudara, berbelanja ataupun berekreasi dan bertamasya. Begitu pula halnya dengan berpuasa, dimana niat berpuasa bukan sekedar melaksanakan kewajiban sebagai seorang muslim, malu dengan tetangga atau takut dihina. Dan tujuan berpuasa bukan karena ingin sampai dan tiba di pelabuhan idul fitri saja melainkan masih banyak tujuan utama lainnya yang akan menjadikan kita sebagai orang yang bertakwa.
Kesadaran akan niat dan tujuan inilah yang akan mendukung pelaksanaan puasa guna membentuk keperibadian yang sebelumnya mati rasa menjadi sensitive dalam merasa dan memperoleh banyak bekal lahir maupun batin sebagai tabungan di tempat tujuan. Di saat tiba di pelabuhan Idul Fitri, begitu kaget dan tercengan akan kebesaran, kemegahan dan kemuliaan Allah SWT seraya bertakbir :
أَلله أَكْبَر الله أكْبَر الله أكْبَر وَلِلهِ الْحَمْد
“Maha besar Allah, Maha besar Allah, Maha besar Allah bagi-Mu segala puji”
Pujian yang bukan sekedar lantuman nada melainkan pujian hakiki yang muncul dari dalam diri yang senantiasa akan membuat orang semakin betah dan bergegas mencari sanak saudara untuk bersilaturrahim.
Kalimat Silaturrahim tersusun dari dua kata yaitu Shilah yang berarti “Hubungan” dan Rahmi yang berarti “Kerabat”, “Rahim dimana janin berada” atau “Kasih sayang”. Secara harfiah, Silaturrahim berarti “menjalin hubungan tali kekerabatan” atau “menjalin hubungan kasih sayang”. Secara istilah, oleh Al-Maraghi mendefinisikannya dengan menyambungkan kebaikan dan menolak sesuatu yang merugikan secara sungguh-sungguh karena Allah SWT. Sebagaimana firmannya dalam Surah Ar-Ra’d:21 :
وَالـَّذِيْنَ يَصِلـُوْنَ مَا أَمَرَاللهُ بِهِ أَنْ يُوْصَلَ وَيَخـْشَوْنَ رَبـَّهُمْ وَيَخَافـُوْنَ سُوْءَ الـْحِسَابِ
“Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk”.
As-Shiddiqi dalam Al-Islam, membagi silaturrahim kepada dua bagian, silaturrahim umum dan silaturrahim khusus.
Silaturrahim umum yaitu silaturrahim kepada siapa saja, seagama maupun tidak seagama, kerabat dan bukan kerabat. Di sini kewajiban yang harus dilakukan adalah: menghubungi, mengasihi, berlaku tulus, adil, jujur, berbuat baik dan hal-hal yang bersifat kemanusiaan. Silaturrahim ini di sebut juga dengan silaturrahim kemanusiaan.
Silaturrahim khusus yaitu silaturrahim kepada kerabat dan kepada yang seagama yaitu dengan cara membantunya dengan harta, tenaga, menolong dan menyelesaikan hajatnya, berusaha menolak kemudharatan yang menimpa serta berdoa dan membimbing agamanya.
Dengan bersilaturrahim, maka akan timbul rasa kasih sayang diantara sesama, dan kasih sayang ini akan menyempurnakan keimanan. Sebagaimana sabda Nabi SAW :
لاَ تـَدْخُلُوْنَ الـْجَنـَّة حَتـَّى تُؤْمِنُوْا وَلاَ تُؤْمِنـُوْا حَتـَّى تَحَابُوْا أَوَلاَ أَدُلـُّكـُمْ عَلـَى شـَيْئٍ اِذَا فَعَلـْتـُمُوْهُ تـَحَابَبْتـُمْ أَفـْشُوْا السَّلاَم بَيْنَكـُمْ
“Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian benar-benar beriman, dan kalian tidak akan sampai meraih keimanan dengan benar sampai kalian saling mencintai dan mengasihi diantara sesama, maukah aku tunjukkan suatu perkara apabila kalian laksanakan maka kalian akan saling mencintai dan mengasihi “sebarkanlah salam diantara kalian” (HR.Muslim).
Hadis ini menunjukkan akan pentingnya silaturrahim meskipun dimulai dengan hal yang dianggap remeh dan mudah yaitu dengan mengucapkan salam dan tegur sapa yang akan melahirkan keakraban dan kepedulian terhadap sesama. Meskipun mudah namun kadang sulit untuk diterapkan, padahal Rasulullah SAW bersabda :
أَسْرَعُ الـْخَيْرِ ثـَوَابًا الـْبـِرُّ وَصِلـَةُ الرَّحْم
“Kebaikan yang paling cepat balasannya adalah berbuat kebaikan dan silaturrahim”.
Sungguh agung dan mulia ajaran Islam yang menyeru ummat islam untuk saling kenal mengenal dan menjalin hubungan persaudaraan dan menggalakkan sikap peduli terhadap sesama. Dan islam pun mengunci kuat pintu-pintu konflik dan menutup rapat potensi permusuhan.sebagaimana dalam sebuah riwayat, Rasulullah SAW mengancam orang-orang yang memutuskan tali silaturrahim:
لاَ يَدْخُلُ الْجَنـَّة قَاطِعُ رَحْمٍ
“Tidak akan masuk surga, orang yang memutuskan tali silaturahim” (HR.Muslim).
مَنْ هَاجَرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلاَث لـَيَالٍ لَنْ تُقْبَلَ عَمَلَهُمَا حَتَّى يَصْطَلحَا وَخَيْرُهُمَا الْوَاصِل
“Barang siapa yang bertengkar dengan saudaranya melebihi tiga hari maka tidak akan diterima amal keduanya hingga keduanya rujuk kembali dan yang pertama rujuk adalah yang paling baik”
Kesemua itu menunjukkan bahwa amal dan peribadatan seorang hamba tidak akan sempurna tanpa memperbaiki hubungan silaturrahim. Dengan kata lain, hubungan antara Allah dan seorang hamba (hablun minallah) akan sempurna jika hamba itu menjaga dan menjalin hubungan antar sesama (hablun minannas).
Dengan bersilaturrahim akan menyempurnakan keimanan kepada Allah SWT, terutama jika silaturrahim yang dijalin benar-benar atas dasar saling menghalalkan dosa-dosa/memaafkan masing-masing dengan ikhlas. Maka bekal atau modal yang telah kita peroleh selama bulan ramadhan tidak berkurang, bahkan telah mendapatkan bantuan teman/kerabat yang akan mengantar berbelanja bukan sebatas pada kebutuhan primer seperti shalat wajib dan puasa wajib saja, melainkan mampu memborong barang-barang kebutuhan sekunder dan lux seperti shalat sunnah dan sebagainya. Dan akan menjadi orang yang benar-benar menikmati tamasya dan rekreasi di akherat kelak.
Adanya perbedaan penyebutan antara silaturrahim pada hari biasa dan Ied yang lebih dikenal di Indonesia dengan Halal Bi Halal disebabkan pula oleh kemuliaan bulan Ramadhan sebagai penghormatan terhadap keutamaan dan kelebihan, serta bulan Syawal sebagai bulan bertambah dan meningkatnya amal dan bonus atau discount untuk menutupi kekurangan yang ada pada bulan Ramadhan dengan berpuasa selama 6 (enam) hari di bulan syawal. Sebagaimana sabda Nabi SAW :
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أتـْبَعَهُ سِتـًّا مِنْ شَوَالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Barangsiapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan kemudian diikuti dengan berpuasa selama enam hari di bulan Syawal, maka ia telah berpuasa selama satu tahun penuh. (HR.Muslim).
Semoga segala kekurangan amal perbuatan pada bulan Ramadhan dapat tertutupi dan ditingkatkan di bulan Syawal ini dengan Silatu Rahmi ataupun Halal Bi Halal serta meningkatkan amal ibadah lainnya demi menyempurnakan keimanan menjadi insan kamil yang benar-benar bertakwa kepada Allah SWT. Wallahu A’lam.

Jumat, 24 Agustus 2012

SYARI’AT DAN HIKMAH PUASA DI BULAN SYAWAL; SEBUAH BATU LONCATAN TUK MERAIH SURGA

Puasa sunah selama enam hari di bulan Syawal adalah salah satu puasa sunah yang sangat dianjurkan dalam syari’at Islam, puasa ini dilakukan setelah kita memperingati Idul Fitri, hal ini terlihat dari berbagai hadits dan sumber rujukan berikut:
Abbu Ayyub RA meriwayatkan, Nabi Muhammad SAW bersabda: “Barangsiap berpuasa penuh di bulan Ramadhan lalu menyambungnya dengan (puasa) enam hari dibulan Syawal, maka (pahalanya) sama seperti berpuasa selama satu tahun.” (HR. Mulsim).
Dalam sumber lain dikatakan bahwa Imam Ahmad RA dan Nasa’i RA, Meriwayatkan dari Tsauban RA, Nabi Muhammad SAW bersabda: “Puasa Ramadhan (ganjarannya) sebanding dengan (puasa) Sepuluh bulan, Sedangkan puasa enam hari (di bulan Syawal Pahalanya) sebanding dengan (Puasa) dua bulan, maka itulah bagaikan puasa selama setahun penuh.” (HR. Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban).
Banyak hikmah dan manfaat jika kita melakukan ibadah puasa di bulan Syawal, diantaranya :
a.       Berpuasa enam hari di bulan syawal merupakan pelengkap dan penyempurna pahala dari puasa setahun penuh.
b.      Puasa di bulan Syawal dan di bulan Sya`ban bagaikan shalat sunah rawatib, berfungsi sebagai penyempurna dari kekurangan, karena pada hari kiamat nanti perbuatan perbuatan fardhu akan disempurnakan dan dilengkapi dengan perbuatan-perbuatan sunnah. Sebagaimana keterangan datang dari Nabi Muhammad SAW diberbagai riwayat. Mayoritas puasa yang dilakukan kaum muslimin memiliki kekurangan dan ketidaksempurnaan, maka hal itu membutuhkan sesuatu yang menutupi dan menyempurnakannya.
c.       Jika kita membiasakan puasa setelah Ramadhan menandakan diterimanya puasa Ramadhan, karena apabila Allah SWT menerima amal seorang hamba, pasti ia menolongnya dalam meningkatkan perbuatan baik setelahnya. Sebagian orang bijak mengetakan: Pahala amal kebaikan adalah kebaikan yang ada sesudahnya." Oleh karena itu barang siapa mengerjakan kebaikan kemudian melanjutkannya dengan kebaikan lain, Maka itu merupakan tanda atas terkabulnya amal pertama.
d.      Berpuasa di bulan Ramadhan sebagaimana disebutkan dimuka dapat mendatangkan maghfirah atas dosa-dosa masa lalu. Orang yang berpuasa Ramadhan akan mendapatkan pahalanya pada hari raya `Idul fitri yang merupakan hari pembagian hadiah, maka membiasakan puasa setelah `Idul Fitri merupakan bentuk rasa syukur atas nikmat ini. Dan sungguh tak ada nikmat yang lebih agung dari pengampunan dosa-dosa.
e.       Diantara manfaat puasa enam hari bulan Syawal adalah amal amal yang dikerjakan seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Tuhannya pada bulan Ramadhan tidak terputus dengan berlalunya bulan mulia ini selama ia masih hidup.
Ada sebuah riwayat bahwasannya ada seorang ulama Salaf ditanya tentang kaum yang bersungguh sungguh dalam ibadahnya pada bulan Ramadhan tetapi jika bulan Ramadhan berlalu mereka tidak bersungguh sungguh lagi, beliau berkomentar : Seburuk buruk kaum adalah yang tidak mengenal Allah secara benar kecuali di bulan Ramadhan saja, padahal orang salih adalah yang beribadah dengan sungguh sungguh di sepanjang tahun.
Maka dari itu sebaiknya orang yang memiliki hutang puasa Ramadhan memulai membayarnya di bulan syawal, karen hal itu mempercepat proses pembebasan diriya dari tanggungan hutangnya. Kemudian dilanjutkan dengan enam hari puasa syawal, dengan demikian ia telah melakukan puasa Ramadhan dan mengikutinya dengan enam hari di bulan syawal. Wallahu alam.

Kamis, 16 Agustus 2012

PENTINGNYA 10 HARI TERAKHIR RAMADHAN; SEBUAH TELAAH A’MALUR RASULULLAH

Ramadhan adalah bulan yang penuh dengan rahmat, berkah dan ampunan, bulan yang lebih baik dari 1000 bulan, lebih baik dari panjang usia kita yang sudah mencapai 83 tahun 4 bulan. Maka dari itu dalam bulan Ramadhan kita harus intropeksi diri dari semua yang kita lakuin diwaktu yang sudah lewat, kita perbanyak ibadah dan amal baik dibulan yang penuh ampunan ini. Banyak amalan-amalan yang dilakukakn oleh Rasulullah SAW dibulan Ramadhan, khususnya dipenghujung bulan, yakni 10 hari terakhir bulan Ramadhan yang bisa saya tulis dibawah ini.
Amalan yang dicontohkan oleh Rasulullah pada malam-malam 10 terakhir itu sangat beragam diantaranya adalah menghidupkan malam-malamnya untuk beribadah, shalat, berzikir, dan lain-lain. Dalam riwayat an-Nasa’i dari Siti Aisyah ia berkata, “Aku tidak melihat Rasulullah SAW membaca Alquran atau shalat sepanjang malam sampai pagi selain bulan Ramadhan.
Membangunkan keluarganya untuk menegakkan shalat. Sebagaimana diriwayatkan Bukhari dari Siti Aisyah, Rasul SAW membangunkan keluarga di malam hari bukan khusus pada bulan Ramadhan saja, tetapi pada 10 hari terakhir lebih rajin dan bersegera untuk membangunkan keluarga. Sufyan ats-Tsauri mengatakan, “Apabila memasuki 10 hari terakhir beliau bertahajud, bersungguh- sungguh, dan membangunkan keluarganya dan anak-anaknya untuk shalat bila mereka mampu.”
Menyingsingkan lengan baju untuk beribadah sebagaimana dijelaskan dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim. Maksud nya, beliau menjauhi istrinya agar tekun beribadah dan ketaatan untuk membersihkan jiwanya dari berbagai kotoran sehingga hatinya naik ke alam malakut.
Menunaikan iktikaf di masjid. Rasulullah senantiasa beriktikaf di 10 hari terakhir sampai beliau wafat. (HR Bukhari dan Muslim). Beliau beriktikaf untuk menggapai Lailatul Qadar, tekun secara total untuk menghidupkan malam-malamnya dalam munajat, zikir, dan berdoa. Beliau mengkhususkan tikar yang agak jauh dari yang lain agar lebih khusyuk.
Diantara amalan penting lainnya adalah tilawatul Quran dengan tadabur dan khusyuk. Beliau mengkhatamkan Alquran minimal dua kali pada bulan Ramadhan.
Para ulama salaf sangat tekun untuk membaca Alquran. Al-Aswad bin Yazid selalu mengkhatamkan Alquran dalam enam hari bila masuk Ramadhan mengkhatamkannya tiga hari, dan bila masuk 10 hari terakhir mengkhatamkannya setiap malam. Imam As-Syafi’i selalu mengkhatamkan Alquran setiap hari pada 10 hari terakhir Ramadhan.
Rasulullah sudah memberikan contoh untuk mengoptimalkan10 hari terakhir Ramadhan. Demikian juga, dengan para salafus saleh. Sudah selayaknya, kita sebagai umat Islam mengikuti petunjuk ini dan memanfaatkan serta memaksimalkan hari-hari terakhir di bulan Ramadhan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Baik dengan berzikir, iktikaf, tadarus Alquran, shalawat, ataupun lainnya. Kapan kita bisa lakuin semua itu?

MAKNA KESUCIAN IDUL FITRI; SEBUAH SYARI’AT YANG MENG-ADAT

"Minal 'aidin wal faizin", inilah kalimat yang terlontar dari orang muslim disaat Idul Fitri. Hari raya Idul Fitri 1 Syawal 1433 Hijriah yang Insya Allah akan dilaksanakan pada hari Minggu 19 Agustus 2012 adalah puncak orang muslim atas pelaksanaan ibadah puasa mereka. Idul Fitri memiliki makna yang berkaitan erat dengan tujuan yang akan dicapai dari kewajiban berpuasa itu sendiri. Idul Fitri secara etimologi berarti hari raya kesucian atau juga hari raya kemenangan, yakni kemenangan mencapai kesucian.
Oleh karena itu, sudah jelas kalau Idul Fitri atau kembali ke fitrah adalah pengertian yang sangat relevan dengan makna yang akan dicapai dalam pelaksanaan ibadah puasa. Ibadah puasa merupakan jalan untuk penyucian diri. Tentu saja jika puasa dijalankan dengan penuh kesungguhan dan ketulusan serta disadarinya tujuan puasa itu sendiri sense of objective.
Orang yang beriman, tepatnya setelah berhasil menjalani ibadah puasa dengan baik, Al-Qur'an menganjurkannya untuk bertakbir, tahlil dan tahmid yakni berulang kali mengagungkan asma Allah SWT seharian suntuk. Dengan takbiran, sepertinya seorang Muslim yang telah menjalani ibadah puasa diasumsikan berada dalam kemenangan atau kesucian sehingga yang ada hanya Tuhan dan yang lain dianggap tidak berarti apa-apa.
Asumsi yang muncul adalah karena dengan menjalani puasa dengan baik yakni sesuai tuntunan dan telah berhasil melewati tingkatan lahiriah, nafsiah, hingga ruhaniah atau spiritual, maka seseorang dinyatakan telah mencapai kesucian. Segala sesuatunya dianggap sudah beres. Artinya manusia telah kembali kepada asalnya, yakni fitrah. Itu sebabnya yang diperlukan kemudian hanya mengagungkan nama dan kebesaran Allah SWT.
Dalam syari’at Islam, anjuran bertakbir dimulai pada hari tenggelamnya matahari (Waktu Maghrib) pada akhir Ramadhan sebagaimana tertulis dalam Al-Qur'an:
وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS Al-Baqarah 2: 185)
Seperti yang terjadi di lingkungan masyarakat kita, pada malam hari raya tiba dilakukan takbir. Di lingkungan masyarakat kita memang telah membudaya takbir keliling yang sesungguhnya merupakan manifestasi atau ungkapan kebahagiaan setelah berhasil memenangi ibadah puasa. Takbir yang merupakan sarana meluapkan kebahagiaan setelah berpuasa itu juga identik dengan semangat zakat fitrah, yang intinya adalah memberikan kebahagiaan kepada orang yang tidak punya, tu'mat-an li 'l-masakin.
Dalam ungkapan lain, lewat zakat fitrah, pada hari raya Idul Fitri jangan sampai ada orang yang bersedih dan jangan sampai ada orang yang meminta-minta. Karena ini hari kebahagiaan, hari kemenangan bagi orang Islam.
Itulah sebabnya, mengeluarkan zakat fitrah sebagai zakat pribadi juga ditegaskan oleh hadis Rasulullah SAW sebagai kewajiban yang harus dilaksanakan sebelum shalat Idul Fitri dan orang Muslim tidak boleh melupakan itu karena hal ini wajib dan tercantum dalam Rukun Islam yang ke-3. Wallahu A’lam.

Pasang Kode Iklan sobat yg berukuran 120 x 600 disini!!!