Minggu, 23 September 2012

JANGAN MENYERAH! SEMANGATLAH KAWAN

Dalam hidup terkadang kita sering mendapati hal-hal yang selalu menghambat perjalan kita karna hidup penuh dengan cobaan yang selalu menguji kita, nah disitu kita akan mendapatkan penghargaan dari Allah SWT apabila kita bisa melewatinya dengan baik.
Allah SWT selalu memberikan cobaan yang selalu setara dengan kemampuan kita. Tidak mungkin Allah SWT memberikan cobaan diatas kekuatan kita. Maka dari itu sabar, ikhlas, tawaqal dan ikhtiar adalah kunci tuk menghadapi cobaan yang diberikan-Nya itu.
Allah pernah berfirman dalam Al-Qur’an yang berbunyi:
قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
Yang Artinya: “Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Az-Zumar: 53)
Dari Ayat diatas, Allah SWT mengajarkan kita supaya kita tidak putus asa dalam rahmatnya, jangan kita merasa putus asa dalam menjalankan hidup yang penuh cobaan ini. Karena kunci dari semua itu adalah sabar, ikhlas, tawaqal dan ikhtiar, sesungguhnya Allah SWT Maha Pengampun dan Maha Penyayang serta maha pengampun atas dosa-dosa kita. Wallahu A’lam.

SEJARAH ISLAM MENGAJARKAN DEMOKRASI

Masih Ingatkah kita tentang pengangkatan Sahabat Umar Bin Khattab r.a sebagai khalifah yang kedua dalam sejarah Islam? Sesungguhnya hal itu adalah sejarah yang mempunyai nilai Muammalah yang sanggat tinggi tuk menjunjung tinggi rasa Khubbul Wattan.
Pada saat itu Sahabat Umar Bin Khattab r.a diangkat sebai khalifah dengan cara dipilih langsung oleh umat. Berbeda dengan sahabat Abu Bakar as-Siddiq yang dipilih langsung oleh Rasulullah sebagai penggantinya untuk memimpin umat.
Sahabat Umar Bin Khattab r.a dipilih dengan cara demokratis, yakni melalui umat langsung. Hal ini mengajarkan kita betapa pentingnya demokrasi tuk membangun sebuah kepemimpinan didalam negeri.
Maka dari itu demokrasi adalah suatu hal yang penting tuk membangun negeri ini, dan alangkah bagusnya jika dalam negeri ini bisa diterapkan dengan baik dan dengan catatan orang-orang yang kita pilih adalah mereka yang dekat dengan Allah SWT dan mengagungkan nilai-nilai dan syari’at dengan baik.

MOTIVASI HIDUP DARI SANG KHOLIK; PEDOMAN TUK MERAIH RAHMAT-NYA

إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”. (Q.S. Ar-Ra’du: 11)
Jika kita telaah lebih dalam, ayat diatas mengandung motivasi untuk seluruh umat manusia yang ada didunia ini untuk selalu berusaha, karena usaha mengandung sebuah nilai primer dalam menghadapi kehidupan ini.
Sebagai manusia memanglah kita diberi akal dan fikiran untuk memilih pilihan dalam menjalankan hidup ini akan tetapi disisi lain Allah SWT juga mempunyai otoritas sebagai Sang Pencipta Hidup, Dia mempunyai Qodar untuk mengatur kehidupan manusia dan tugas manusia hanya berusaha, tawaqal, ikhtiar dan berdo’a kepadanya.
Kita ambil sebuah contoh, misalkan kita ingin memilih atau mendapatkan A dalam hidup ini, belumlah mesti pilihan kita itu akan tercapai, oleh karena itu, kita sebagai manusia yang diberi akal dan fikiran kita harus berusaha untuk mendapatkan A itu, dengan usaha dan do’a niscaya Allah SWT akan memberikan yang terbaik untuk kita itu.
Oleh karena itu, kita tidak boleh berprasangka buruk kepada Allah SWT karena hal itu akan menjauhkan kita dari rahmat-Nya. Kita harus selalu berusaha dan berpasrah diri kepadanya untuk semua hal, dengan iman Insya Allah do’a kita akan terkabul, sesungguhnya Allah SWT maha mendengar, jadi do’a kita pasti terkabul semua meskipun bukan pada saat yang kita inginkan, salah jika Allah SWT tidak mengabulkan do’a kita. Wallahu A’lam.

Sabtu, 01 September 2012

BULAN SYAWAL; BULAN BERKAH NAN PENUH SEJARAH ISLAM

Bulan Syawal adalah bulan kesepuluh dalam penanggalan kalender hijriyah. Kehadiran bulan ini selalu dinanti umat Islam di seluruh dunia. Penetapan awal bulan ini menjadi perhatian kaum Muslimin, karena pada 1 Syawal, umat Islam di seantero jagat merayakan Idul Fitri yakni hari kemenangan  setelah menunaikan ibadah puasa wajib selama sebulan penuh pada bulan Ramadhan.
Secara etimologi, Syawal berasal dari kata Syala yang berarti naik atau meninggi (irtafa'a). Pada bulan ini,  kedudukan dan derajat kaum Muslimin meninggi di mata  Allah SWT, karena telah menunaikan ibadah shaum pada bulan Ramadhan.
Dalam riwayat Rasulullah SAW, beliau pernah bersabda, ''Barang siapa berpuasa di bulan Ramadhan karena iman dan tulus karena Allah, maka dosa-dosanya akan diampuni oleh Allah." Pada bulan ini pula, umat Muslim secara moral dan spiritual harus mampu mempertahankan dan meningkatkan keimananannya.
Setelah menempuh ujian selama satu bulan, umat Muslim diharapkan bisa mempertahankan nilai-nilai amaliyah yang telah dilakukan pada Ramadhan hingga datang Ramadhan selanjutnya. Syawal bermakna  sebagai bulan peningkatan ibadah dan amal saleh.
Seperti halnya bulan-bulan lain pada kelender hijriyah,  Syawal memiliki keistimewaan tersendiri. Dalam sebuah hadis diriwayatkan dari Ayyub RA, Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa berpuasa Ramadhan dan meneruskannya dengan puasa enam hari di bulan Syawal, berarti dia telah berpuasa satu tahun." (HR Imam Muslim dan Abu Dawud).
Pada bulan ini pula tertoreh sejarah penting dalam kehidupan Rasulullah SAW serta peradaban Islam. Menurut Ibnu Mandhur dalam Lisan al-Arab, Nabi Muhammad SAW mempersunting Siti Aisyah RA, putri Abu Bakar RA, pada bulan Syawal. Keduanya juga memulai hidup bersama pada bulan Syawal.
Di bulan ini pula, seorang ahli hadis terkemuka bernama Muhammad al-Bukhari lahir. Imam Bukhari terlahir di Bukhara, Uzbekistan, Asia Tengah pada 13 Syawal 194 H. Menurut Ibnu Hajar Al Asqalani, Imam al-Bukhari berhasil menuliskan sebanyak 9.082 hadis dalam karya monumentalnya bertajuk al-Jami'al-Shahil yang dikenal sebagai Shahih Bukhari.
Sejarah peradaban Islam juga mencatat pada 17 Syawal, umat Muslim di zaman Rasulullah SAW terlibat dalam Perang Uhud. Pada pertempuran itu, umat Islam mendapatkan pelajaran penting, karena mengalami kekalahan.
Allah SWT berfirman dan surat Ali Imran ayat 165, ''Dan mengapa kamu  (heran) ketika ditimpa musibah (kekalahan Perang Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat (kepada musuh-musuhmu pada Perang Badar), kamu berkata, “Dari mana datangnya (kekalahan) ini?” Katakanlah, “Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri”. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Wallahu A’lam.

MAKNA DAN HALAL BI HALAL DAN SILATURRAHIM DALAM MENUNAIKAN KHABLUM MINANNAS

Halal Bi Halal adalah suatu bentuk ungkapan khusus pada waktu dan tempat tertentu sebagai pengganti dari kata Silaturrahim pada kedua hari raya Islam yang telah membudaya di beberapa Negara di Asia Tenggara khusnya Indonesia, yang khususnya di bulan Syawal. Jika kita kembali pada sejarah Islam, sejak zaman Rasulullah SAW, sahabat, para tabi’ dan tabi’ tabi’in bahkan hingga saat ini, maka kita tidak akan mendapatkan istilah Halal Bi Halal kecuali Silaturrahim. Meskipun Istilah Halal Bi Halal ini berasal dari bahasa Arab yang berarti “Halal dengan yang halal” atau “sama-sama saling menghalalkan” atau kadang pula diartikan dengan “saling maaf memaafkan/ saling menghalalkan dosa masing-masing” namun terdapat kerancuan pemahaman di kalangan orang Arab itu sendiri (ashab al-lughah) terhadap penggunaan dan maksud dari istilah ini.
Tidaklah mengherankan misalkan ada orang Arab yang akan heran saat mereka bertanya tentang isi dari acara Halal Bi Halal yang sedang dirayakan oleh masyarakat Indonesia yang berada di Arab. Mereka pun akan memahaminya setelah mendapatkan penjelasan tentang sebab dan maksud dari perayaan itu dan kadang mendapat sorotan tentang kesalahan penempatan bahasa yang dimaklumi sebagai bahasa atau ungkapan orang yang baru belajar bahasa Arab namun kadang pula mendapat pujian tentang dalamnya hikmah yang terkandung dari ungkapan tersebut.
Uslub (gaya bahasa) dari Halal Bi Halal sangat terpengaruh dengan uslub yang terdapat dalam firman Allah SWT, Surah Al-Maidah: 45 :
وَ كَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيْهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالأَنْفَ بِالأَنْفِ وَالأُذُنَ بِالأُذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ
“Dan kami Telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata (dibalas) dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada qisashnya…”.
Uslub pada ayat ini mengandung makna qishaash (hukum balasan) terhadap orang yang telah dirugikan, dibalas dengan balasan yang sama atau setimpal. Dalam firman-Nya yang lain :
يَاأَيُّهَا الذِيْنَ ءَامَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلىَ اَلْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالأُنْثَى بِالأُنْثَى فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيْهِ شَيْئٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوْفِ وَأَدَآءٌ اِلَيْهِ بِإِحْسانٍ….
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema’afan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma’af) membayar (diat) kepada yang memberi ma’af dengan cara yang baik (pula). (QS.Al-Baqarah: 178).
Qishaash ialah mengambil pembalasan yang sama. qishaash itu tidak dilakukan, bila yang membunuh mendapat kema’afan dari ahli waris yang terbunuh yaitu dengan membayar diat (ganti rugi) yang wajar. pembayaran diat diminta dengan baik, umpamanya dengan tidak mendesak yang membunuh, dan yang membunuh hendaklah membayarnya dengan baik, umpamanya tidak menangguh-nangguhkannya. bila ahli waris si korban sesudah Tuhan menjelaskan hukum-hukum ini, membunuh yang bukan si pembunuh, atau membunuh si pembunuh setelah menerima diat, Maka terhadapnya di dunia diambil qishaash dan di akhirat dia mendapat siksa yang pedih.
Pada ayat ini, telah mengisyaratkan akan adanya sifat pemaaf, yang kemudian pada ayat 237 surah Al-Baqarah disebutkan bahwa :
وَ أَنْ تَعْفُوْا أَقـْرَبُ لِلتـَّقـْوَى
“..Dan jika kamu memaafkan, maka hal itu lebih dekat kepada takwa…”
Memaafkan orang lain sebagaimana yang telah dipraktekkan oleh baginda Rasulullah SAW di awal dakwahnya, bahkan beliau mendoakan mereka yang ingkar dan telah melukainya di saat Jibril as meminta kepadanya untuk memohon balasan atau azab Allah bagi mereka, merupakan suatu kesabaran dan keteguhan hati dalam meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT. Hal senada pun akan dijumpai dalam berpuasa pada bulan Ramadhan, dimana dengan berpuasa akan melatih kesabaran dan membentuk keperibadian dalam meraih tujuan utama dari puasa yaitu:
لـَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْن
“…Agar kamu bertakwa” (QS.Al-Baqarah:183)
Sehingga para ulama yang menyebarkan islam di Indonesia, di saat menjawab pertanyaan-pertanyaan orang awam tentang perbedaan Silaturrahim pada hari-hari biasa dan pada hari Ied, mereka lebih menyederhanakan perbedaan tersebut dengan Istilah baru yaitu Halal Bi Halal, yang dapat berarti bahwa bersilaturrahim di hari biasa boleh jadi Haram bi Halal atau orang yang menjalin hubungan telah berbuat salah dan dalam keadaan biasa-biasa saja terlebih lagi di Indonesia, ungkapan silaturrahim lebih diterjemahkan dengan sekedar berziarah. Sedangkan bersilaturrahim setelah Ied merupakan refleksi dari pembentukkan keperibadian di saat berpuasa sehingga orang yang menjalin dan dijalin silaturrahim dalam keadaan suci, sadar dan ikhlas untuk memaafkan dan dimaafkan serta memperbaiki hubungan yang telah kusut.
Makna dari Halal Bi Halal ini akan lebih bermakna jika puasa yang dilakukan benar-benar sempurna dan mampu meraih tujuan utama dari puasa itu sendiri yaitu meningkatkan kualitas ketakwaan kepada Allah SWT. Karena Rasulullah SAW bersabda :
رُبَّ صَائِمٍ لـَيْسَ لَهُ مِن صِيَامِهِ إِلاَّ الـْجُوْع
“Banyak sekali orang yang berpuasa namun tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali rasa lapar” (HR.Nasai, Ibnu Majah dan Al-Hakim).
Hal ini disebabkan karena kurangnya pengetahuan dan kesadaran akan niat dan tujuan dalam berpuasa.
Jika kita ingin melakukan perjalanan ke suatu tempat, mislanya dari Ambon menuju Jakarta, maka niat kita bukan sekedar berangkat ke Jakarta dan tujuan kita bukan semata-mata karena ingin sampai atau tiba di bandara maupun pelabuhan yang ada di Jakarta, melainkan masih banyak tujuan-tujuan utama lainnya yaitu ingin mengagumi kemegahan kota metropolitan, bersilaturrahim dengan sanak saudara, berbelanja ataupun berekreasi dan bertamasya. Begitu pula halnya dengan berpuasa, dimana niat berpuasa bukan sekedar melaksanakan kewajiban sebagai seorang muslim, malu dengan tetangga atau takut dihina. Dan tujuan berpuasa bukan karena ingin sampai dan tiba di pelabuhan idul fitri saja melainkan masih banyak tujuan utama lainnya yang akan menjadikan kita sebagai orang yang bertakwa.
Kesadaran akan niat dan tujuan inilah yang akan mendukung pelaksanaan puasa guna membentuk keperibadian yang sebelumnya mati rasa menjadi sensitive dalam merasa dan memperoleh banyak bekal lahir maupun batin sebagai tabungan di tempat tujuan. Di saat tiba di pelabuhan Idul Fitri, begitu kaget dan tercengan akan kebesaran, kemegahan dan kemuliaan Allah SWT seraya bertakbir :
أَلله أَكْبَر الله أكْبَر الله أكْبَر وَلِلهِ الْحَمْد
“Maha besar Allah, Maha besar Allah, Maha besar Allah bagi-Mu segala puji”
Pujian yang bukan sekedar lantuman nada melainkan pujian hakiki yang muncul dari dalam diri yang senantiasa akan membuat orang semakin betah dan bergegas mencari sanak saudara untuk bersilaturrahim.
Kalimat Silaturrahim tersusun dari dua kata yaitu Shilah yang berarti “Hubungan” dan Rahmi yang berarti “Kerabat”, “Rahim dimana janin berada” atau “Kasih sayang”. Secara harfiah, Silaturrahim berarti “menjalin hubungan tali kekerabatan” atau “menjalin hubungan kasih sayang”. Secara istilah, oleh Al-Maraghi mendefinisikannya dengan menyambungkan kebaikan dan menolak sesuatu yang merugikan secara sungguh-sungguh karena Allah SWT. Sebagaimana firmannya dalam Surah Ar-Ra’d:21 :
وَالـَّذِيْنَ يَصِلـُوْنَ مَا أَمَرَاللهُ بِهِ أَنْ يُوْصَلَ وَيَخـْشَوْنَ رَبـَّهُمْ وَيَخَافـُوْنَ سُوْءَ الـْحِسَابِ
“Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk”.
As-Shiddiqi dalam Al-Islam, membagi silaturrahim kepada dua bagian, silaturrahim umum dan silaturrahim khusus.
Silaturrahim umum yaitu silaturrahim kepada siapa saja, seagama maupun tidak seagama, kerabat dan bukan kerabat. Di sini kewajiban yang harus dilakukan adalah: menghubungi, mengasihi, berlaku tulus, adil, jujur, berbuat baik dan hal-hal yang bersifat kemanusiaan. Silaturrahim ini di sebut juga dengan silaturrahim kemanusiaan.
Silaturrahim khusus yaitu silaturrahim kepada kerabat dan kepada yang seagama yaitu dengan cara membantunya dengan harta, tenaga, menolong dan menyelesaikan hajatnya, berusaha menolak kemudharatan yang menimpa serta berdoa dan membimbing agamanya.
Dengan bersilaturrahim, maka akan timbul rasa kasih sayang diantara sesama, dan kasih sayang ini akan menyempurnakan keimanan. Sebagaimana sabda Nabi SAW :
لاَ تـَدْخُلُوْنَ الـْجَنـَّة حَتـَّى تُؤْمِنُوْا وَلاَ تُؤْمِنـُوْا حَتـَّى تَحَابُوْا أَوَلاَ أَدُلـُّكـُمْ عَلـَى شـَيْئٍ اِذَا فَعَلـْتـُمُوْهُ تـَحَابَبْتـُمْ أَفـْشُوْا السَّلاَم بَيْنَكـُمْ
“Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian benar-benar beriman, dan kalian tidak akan sampai meraih keimanan dengan benar sampai kalian saling mencintai dan mengasihi diantara sesama, maukah aku tunjukkan suatu perkara apabila kalian laksanakan maka kalian akan saling mencintai dan mengasihi “sebarkanlah salam diantara kalian” (HR.Muslim).
Hadis ini menunjukkan akan pentingnya silaturrahim meskipun dimulai dengan hal yang dianggap remeh dan mudah yaitu dengan mengucapkan salam dan tegur sapa yang akan melahirkan keakraban dan kepedulian terhadap sesama. Meskipun mudah namun kadang sulit untuk diterapkan, padahal Rasulullah SAW bersabda :
أَسْرَعُ الـْخَيْرِ ثـَوَابًا الـْبـِرُّ وَصِلـَةُ الرَّحْم
“Kebaikan yang paling cepat balasannya adalah berbuat kebaikan dan silaturrahim”.
Sungguh agung dan mulia ajaran Islam yang menyeru ummat islam untuk saling kenal mengenal dan menjalin hubungan persaudaraan dan menggalakkan sikap peduli terhadap sesama. Dan islam pun mengunci kuat pintu-pintu konflik dan menutup rapat potensi permusuhan.sebagaimana dalam sebuah riwayat, Rasulullah SAW mengancam orang-orang yang memutuskan tali silaturrahim:
لاَ يَدْخُلُ الْجَنـَّة قَاطِعُ رَحْمٍ
“Tidak akan masuk surga, orang yang memutuskan tali silaturahim” (HR.Muslim).
مَنْ هَاجَرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلاَث لـَيَالٍ لَنْ تُقْبَلَ عَمَلَهُمَا حَتَّى يَصْطَلحَا وَخَيْرُهُمَا الْوَاصِل
“Barang siapa yang bertengkar dengan saudaranya melebihi tiga hari maka tidak akan diterima amal keduanya hingga keduanya rujuk kembali dan yang pertama rujuk adalah yang paling baik”
Kesemua itu menunjukkan bahwa amal dan peribadatan seorang hamba tidak akan sempurna tanpa memperbaiki hubungan silaturrahim. Dengan kata lain, hubungan antara Allah dan seorang hamba (hablun minallah) akan sempurna jika hamba itu menjaga dan menjalin hubungan antar sesama (hablun minannas).
Dengan bersilaturrahim akan menyempurnakan keimanan kepada Allah SWT, terutama jika silaturrahim yang dijalin benar-benar atas dasar saling menghalalkan dosa-dosa/memaafkan masing-masing dengan ikhlas. Maka bekal atau modal yang telah kita peroleh selama bulan ramadhan tidak berkurang, bahkan telah mendapatkan bantuan teman/kerabat yang akan mengantar berbelanja bukan sebatas pada kebutuhan primer seperti shalat wajib dan puasa wajib saja, melainkan mampu memborong barang-barang kebutuhan sekunder dan lux seperti shalat sunnah dan sebagainya. Dan akan menjadi orang yang benar-benar menikmati tamasya dan rekreasi di akherat kelak.
Adanya perbedaan penyebutan antara silaturrahim pada hari biasa dan Ied yang lebih dikenal di Indonesia dengan Halal Bi Halal disebabkan pula oleh kemuliaan bulan Ramadhan sebagai penghormatan terhadap keutamaan dan kelebihan, serta bulan Syawal sebagai bulan bertambah dan meningkatnya amal dan bonus atau discount untuk menutupi kekurangan yang ada pada bulan Ramadhan dengan berpuasa selama 6 (enam) hari di bulan syawal. Sebagaimana sabda Nabi SAW :
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أتـْبَعَهُ سِتـًّا مِنْ شَوَالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Barangsiapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan kemudian diikuti dengan berpuasa selama enam hari di bulan Syawal, maka ia telah berpuasa selama satu tahun penuh. (HR.Muslim).
Semoga segala kekurangan amal perbuatan pada bulan Ramadhan dapat tertutupi dan ditingkatkan di bulan Syawal ini dengan Silatu Rahmi ataupun Halal Bi Halal serta meningkatkan amal ibadah lainnya demi menyempurnakan keimanan menjadi insan kamil yang benar-benar bertakwa kepada Allah SWT. Wallahu A’lam.

Pasang Kode Iklan sobat yg berukuran 120 x 600 disini!!!